Sabtu, 11 Mei 2013

Sanggahan Untuk Ustadz Firanda


SANGGAHAN UNTUK USTADZ FIRANDA ANDIRJA ATAS “NGOTOTNYA” MENYATAKAN HARAM DALAM TAHLILAN UNTUK MEMBANTAH PERNYATAAN YANG DIKEMUKAKAN OLEH USTADZ IDRUS RAMLI

Ustadz Firanda Andirja yang merupakan tokoh Salafi Wahabi ini seringkali membahas amaliah Warga Nahdlatul Ulama khususnya dan Ahlus Sunnah Wal Jamaah umumnya. Pada kesempatan ini dia menulis dalam blognya yang berjudul “Tahlilan Makruh Tidak Haram” yang merupakan bantahannya kepada Ustadz Idrus Ramli yang menyatakan kebohongan Wahabi tentang larangan Imam Syafi’i atas kenduri kematian/Tahlilan/Yasinan.


Saya akan bahas hujjah Ustadz Firanda ini, yaitu sebagai berikut :

1. Jelas merupakan “mohon maaf : sebut saja kelicikan” kelompok Salafi Wahabi yang tidak mengakui “pembagian” bid’ah, kecuali semua bid’ah adalah sesat. Sedangkan dalam pembahasan tersebut (dalam kitab-kitab Ulama Mazhab, khususnya Mazhab Syafi’i) menggunakan istilah bid’ah makruh, bid’ah munkarat, akrahu (dibenci)/makruh, mustahab/ghairu mustahab dan lain-lain yang jelas diingkarinya. Hal ini jelas menunjukkan “sekali lagi maaf : sebut kelicikan” Salafi Wahabi untuk mempengaruhi umat Islam yang awam akan hukum Islam dengan mengarahkannya ke pemahamannya, yaitu Tahlilan itu Haram (jelas beda dengan judul artikel tersebut diatas).

2. Pada bagian pembahasannya akan kami sampaikan dan sanggah, yaitu sebagai berikut :
a. Ustadz Firanda menyebutkan bahwa menukil dari Kitab Mawahibul jalil li Syarhi Mukhtasharil Khalil, karya Abu Abdullah al-Maghriby, cetakan Dar 'Aalam al-Kutub, juz 3 hal 37 sebagai berikut :

"Adapun kegiatan menghidangkan makanan yang dilakukan oleh keluarga mayit dan mengumpulkan orang-orang untuk makanan tersebut, maka hal ini dibenci oleh sekelompok ulama, dan mereka menganggap perbuatan tersebut termasuk bid'ah, karena tidak ada satupun nukilan dalil dalam masalah ini, dan momen tersebut bukanlah tempat melaksanakan walimah/kenduri…

Adapun apabila seseorang menyembelih binatang di rumahnya kemudian dibagikan kepada orang-orang fakir sebagai shadaqah untuk mayit, maka tidak mengapa selama hal tersebut tidak dimaksudkan untuk riya, sum'ah, dan saling unjuk gengsi, serta tidak mengumpulkan masyarakat untuk memakan sembelihan tersebut.”

Tanggapan saya :

Bagi yang tidak memahami bahasa Arab jelas akan langsung “melahap” terjemahan Pak Ustadz ini. Padahal disitu ada pernyataan yang perlu dipertegas, yaitu ada kalimat “Faqad Karohahu Jama’atu Wa’adawahu minal bida” yang terjemahnya “dan sungguh membenci/memakruhkan sekumpulan (ulama) dan menganggap (menghidangkan makanan tersebut) sebagai bid’ah”

Disini jelas ulama menyatakan membenci/memakruhkan dan menyebutnya sebagai bid’ah. Hal ini diartikan sebagai Bid’ah Makruhah. Tapi pada bagian lain Ustadz Firanda ini menyatakan “pokoknya” haram.

Ini jelas memaksakan hukum. Selain itu bagaimana Sang Ustadz menggunakan dalil Bid’ah Makruhah, padahal sudah jelas Faham Wahabi hanya mengakui bahwa “Kullu Bid’atin Dhalalah” yang diartikan semua bid’ah dhalalah/tersesat. 

Sedangkan pemahaman Ahlus Sunnah berdasarkan Imam Abu Zakaria Yahya Bin Syaraf Nawawi Ad Dimasyqi As Syafi’i dalam Kitabnya Syarah Sahih Muslim menyatakan bahwa bid’ah jatuh pada hukum yang lima, yaitu Bid’ah Wajib, Bid’ah Sunnah, Bid’ah Makruh, Bid’ah Mubah dan Bid’ah Haram. Ini juga menjelaskan bahwa Bid’ah bukanlah hukum Islam menurut ulama. Bagaimana pendapat tersebut bisa kita terima ?

b. Ustadz Firanda menyatakan :
“Pernyataan Al-Ustadz bahwasanya para ulama hanya berpendapat makruh saja dan tidak sampai haram, maka hal ini perlu ditinjau kembali dari beberapa segi:

Pertama : Tentunya Al-Ustadz memaksudkan tidak semua acara kenduri kematian, karena Al-Ustadz telah menyatakan ada acara kenduri kematian yang haram, yaitu sebagaimana perkataan Al-Ustadz ((Akan tetapi hukum makruh ini akan meningkat volumenya menjadi hukum haram, apabila makanan tersebut diambilkan dari harta ahli waris yang mahjur (tidak boleh mengelola hartanya seperti anak yatim dan belum dewasa), atau dapat menimbulkan madarat bagi keluarga si mati))

Tanggapan saya :

Dari pernyataan Sang Ustadz ini kami masih belum jelas apa maksudnya. Tapi kalau saya boleh duga bahwa dia akan mengarahkan kepada hukum haram atas tahlilan, (mungkin tanpa illat yang jelas).

Padahal menurut kami pendapat Ustadz Idrus Ramli benar berdasarkan Kitab I’anatut Thalibin, bahwa hukum tahlilan itu bid’ah makruh dan memang bisa haram dengat illat, sebagaimana dalam Kitab I‘anatut Thalibin berikut :

وفي حاشية العلامة الجمل على شرح المنهج ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها ما يفعله الناس من الوحشة والجمع والأربعين بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور أو من ميت عليه دين أو يترتب عليه ضرر أو نحو ذلك

Dalam “Hasyiyah al Jamal Syarah al Minhaj” dijelaskan; “ dan diantara bid’ah yang munkar dan makruh untuk melakukannya adalah tradisi selamatan (kenduri) kematian yang disebut Wakhsyah, Juma’ dan Arba’in (nama-nama tradisi di Hijaz sebelum kerajaan as Su’ud berkuasa). Bahkan semua itu dihukumi haram jika hidangan tersebut diambil dari harta Mahjur (orang yang tidak/belum diperkenankan mentasharrufkan hartanya, semisal anak yang belum dewasa), atau harta si mayyit yang memiliki tanggungan hutang, atau menimbulkan madhorot atas si mayyit atau sejenisnya.” (I’anatut Thalibin, 2/146)

Ustadz Firanda mengatakan lagi :
Kedua : Telah saya jelaskan bahwa jika ulama syafi'iyah menyatakan hukum sesuatu perkara makruh, maka tidak otomatis maksud mereka adalah makruh tanzih, karena banyak perkataan mereka "makruh" akan tetapi maksud mereka adalah haram. (Silahkan baca kembali artikel "MAKRUH KOK DILARANG??!!")

Tanggapan saya :

Ini perkataan yang “sembrono”, karena dalam beberapa ucapan Imam Syafi’i atau Imam Mazhab Syafi’i itu juga ada illat / sebab yang harus diketahui untuk memastikan maksudnya. Sebagai contoh :

وَأَكْرَهُ النِّيَاحَةَ على الْمَيِّتِ بَعْدَ مَوْتِهِ وَأَنْ تَنْدُبَهُ النَّائِحَةُ على الِانْفِرَادِ لَكِنْ يُعَزَّى بِمَا أَمَرَ اللَّهُ عز وجل من الصَّبْرِ وَالِاسْتِرْجَاعِ وَأَكْرَهُ الْمَأْتَمَ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ وَإِنْ لم يَكُنْ لهم بُكَاءٌ فإن ذلك يُجَدِّدُ الْحُزْنَ وَيُكَلِّفُ الْمُؤْنَةَ مع ما مَضَى فيه من الْأَثَرِ

(Imam As Syafi’iy berkata): “Dan aku membenci Niyahah (meratapi/menangisi) orang yang meninggal setelah kematiannya, dan orang yang meratap menyebut-nyebut kemaikan mayit sambil menyendiri, tetapi hendaknya orang tersebut di ta’ziyahi (dihibur) dengan apa yang telah diperintahkan Alloh Azza Wa Jalla berupa (perintah) sabar dan Istirja’ (Inna Lillah Wa Inna Ilahi Roji’un/mengembalikannya kepada Alloh). Dan aku membenci “Ma’tam” yakni kumpulan (dirumah duka) meskipun didalamnya tidak terdapat tangisan, karena yang demikian bisa memperbaharui kesedihan dan juga membebani secara materi sebagai dampak apa yang telah terjadi” (Imam as Syafi’i, al Umm , 1/279)

Jelas disini Imam Syafi’i menyatakan membenci/makruh sedangkan pemahaman Ustadz Firanda adalah haram. Berikut saya kutipkan pernyataan Ustadz Firanda pada artikel : "MAKRUH KOK DILARANG??!!"

Ustadz Firanda mengatakan bahwa :

Ketiga: Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah berkata:

"Dan aku membenci niahah atas mayat setelah kematiannya." (al-Umm 1/279)

Padahal jelas bahwa sikap niahah adalah perbuatan yang haram.

Tanggapan saya :

Disini jelas Ustadz Firanda memotong Qaul Imam Syafi’i Rhm. Bahwa beliau tidak menyatakan haram dalam hal ini, bahkan dalam qaul beliau selanjutnya :

لَكِنْ يُعَزَّى بِمَا أَمَرَ اللَّهُ عز وجل من الصَّبْرِ وَالِاسْتِرْجَاعِ وَأَكْرَهُ الْمَأْتَمَ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ وَإِنْ لم يَكُنْ لهم بُكَاءٌ فإن ذلك يُجَدِّدُ الْحُزْنَ وَيُكَلِّفُ الْمُؤْنَةَ مع ما مَضَى فيه من الْأَثَرِ

“tetapi hendaknya orang tersebut di ta’ziyahi (dihibur) dengan apa yang telah diperintahkan Alloh Azza Wa Jalla berupa (perintah) sabar dan Istirja’ (Inna Lillah Wa Inna Ilahi Roji’un/mengembalikannya kepada Alloh).”

Jadi sekali lagi saya katakan ini, maaf : licik sekali, jika hanya mau mempengaruhi orang awam yang tidak mengerti bahasa Arab dan ilmu Fiqh.

Ustadz Firanda selanjutnya mengatakan :
Ketiga : Hingga saat ini saya belum menemukan ada ulama syafi'iyah yang menyatakan bahwa acara ritual tahlilan hukumnya makruh tanzih. Yang saya temukan dari perkataan mereka adalah, (1) "Bid'ah Munkaroh" (bid'ah yang mungkar), (2) "Muhdats" (bid'ah), (3)"Karoohah" (dibenci), dan (4) Bid'ah ghoiru Mustahabbah (Bid'ah yang tidak dianjurkan)

Tanggapan saya :

Ini jelas menunjukkan bahwa semuanya (Tahlilan/Yasinan/Kenduri) akan diarahkan ke hukum haram, karena dia kehabisan akal mengarahkan bahwa bid’ah hanya ada satu yaitu dhalalah/sesat. Sudah saya jelaskan tentunya semua hukum ulama tersebut karena adanya illat/sebab, tapi beliau semua tidak pernah mengarahkan ke hukum haram.

Bahkan Imam Syafi’i Rhm. Juga menyatakan dalam Kitab beliau Al Umm sebegai berikut :

وَأُحِبُّ لِجِيرَانِ الْمَيِّتِ أو ذِي قَرَابَتِهِ أَنْ يَعْمَلُوا لِأَهْلِ الْمَيِّتِ في يَوْمِ يَمُوتُ وَلَيْلَتِهِ طَعَامًا يُشْبِعُهُمْ فإن ذلك سُنَّةٌ وَذِكْرٌ كَرِيمٌ وهو من فِعْلِ أَهْلِ الْخَيْرِ قَبْلَنَا وَبَعْدَنَا لِأَنَّهُ لَمَّا جاء نَعْيُ جَعْفَرٍ قال رسول اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم اجْعَلُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فإنه قد جَاءَهُمْ أَمْرٌ يَشْغَلُهُمْ

“Dan aku suka jika para tetangga si mati atau kerabatnya menyediakan makanan untuk keluarga si mati pada hari kematian dan malam harinya sehingga mengenyangkan mereka. Sesungguhnya hal itu sunnah dan Ibadah yang mulia. Itu juga perbuatan para ahli kebajikan dari orang-orang sebelum dan sesudah kita, karena ketika berita kematian Ja’far datang, Rosululloh saw bersabda; “Sediakan makanan bagi keluarga Ja’far, karena mereka sedang kedatangan urusan (mushibah) yang menyibukkan mereka.” (al Umm, 1/278)

Bagaimana bisa akan menghukumi tahlilan yang merupakan bagian dari takziyah (menghibur keluarga ahli kubur) akan digiring ke amaliah haram ???

Selanjutnya Ustadz Firanda mengatakan :

Keempat : Diantara dalil yang dijadikan argumen oleh ulama syafi'iyah tatkala menyatakan bahwa kenduri kematian adalah bid'ah dan makruh adalah karena acara kenduri kematian dianggap termasuk niyaahah. Mereka -para ulama syafi'iyah- berdalil dengan perkataan Jarir bin Abdillah yang menyatakan bahwa para sahabat menganggap acara kenduri kematian merupakan bentuk niyaahah:

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

Para sahabat kami (para ahli fikih madzhab syafi'i) rahimahullah berkata, "Jika seandainya para wanita melakukan niahah (meratapi sang mayat di rumah keluarga mayat-pen) maka tidak boleh membuatkan makanan bagi mereka. Karena hal ini merupakan bentuk membantu mereka dalam bermaksiat.

Penulis kitab as-Syaamil dan yang lainnya berkata : "Adapun keluarga mayat membuat makanan dan mengumpulkan orang-orang untuk makan makanan tersebut maka tidak dinukilkan sama sekali dalilnya, dan hal ini merupakan bid'ah, tidak mustahab (tidak disunnahkan/tidak dianjurkan)".

Ini adalah perkataan penulis asy-Syaamil. Dan argumen untuk pendapat ini adalah hadits Jarir bin Abdillah radhiallahu 'anhu ia berkata, "Kami memandang berkumpul di rumah keluarga mayat dan membuat makanan setelah dikuburkannya mayat termasuk niyaahah". Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dan Ibnu Maajah dengan sanad yang shahih" (Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab 5/290)

Niyaahah adalah tangisan meratapi mayat, dan hukumnya adalah haram menurut ijmak ulama !!!. Telah datang dalil-dalil yang menunjukkan pengharaman niyaahah, bahkan pelakunya diancam dengan ancaman yang keras. Bahkan para ulama syafi'iyah telah menegaskan akan haramnya niyaahah.

Tanggapan saya :

Mohon maaf : Terlalu cerobohnya Sang Ustadz Firanda menjelaskan isi kitab tersebut. Disitu jelas dijelaskan bahwa hal tersebut dikatakan Bid’ah Ghairu Mustahab (Tidak Dianjurkan), karena pemahaman Imam Nawawi terhadap Bid’ah yang lima sedangkan Sang Ustadz hanya ada “kullu bid’atin dhalalah”.

Sudah jelas juga bahwa "Jika seandainya para wanita melakukan niahah (meratapi sang mayat di rumah keluarga mayat-pen) maka tidak boleh membuatkan makanan bagi mereka.” Mereka disini adalah para pentakziyah. Karena itulah juga Imam Syafi’i Rhm. Menyatakan : “Dan aku suka jika para tetangga si mati atau kerabatnya menyediakan makanan untuk keluarga si mati pada hari kematian dan malam harinya sehingga mengenyangkan mereka. Sesungguhnya hal itu sunnah dan Ibadah yang mulia. Itu juga perbuatan para ahli kebajikan dari orang-orang sebelum dan sesudah kita, karena ketika berita kematian Ja’far datang, Rosululloh saw bersabda; “Sediakan makanan bagi keluarga Ja’far, karena mereka sedang kedatangan urusan (mushibah) yang menyibukkan mereka.” (al Umm, 1/278). Inilah yang dimaksud sebenarnya.

Tanggapan saya :

Sekali lagi itu hukumnya bid’ah makruh. Pertanyannya adalah bagaimana jika keluarga mayit dengan sukarela. Apakah salah ? Saya katakan dengan jelas, bahwa jika keinginan dari keluarga mayat, maka itu malah sunnah. Sebagaimana dalam hadits tentang pemuda yang ingin beramal untuk orangtuanya (ibunya) yang sudah meninggal, dan ternyata dibenarkan oleh Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam.

Ustadz Firanda menyatakan lagi :

Kelima : Justru ada keterangan dari ulama syafi'iyah akan haramnya acara kenduri kematian.

Syaikhul Islaam Zakariyaa Al-Anshoori As-Syafi'i (wafat 926 H) berkata dalam kitabnya : Asna Al-Mathoolib Fi Syarh Roudh At-Thoolib (1/335, terbitan Daarul Kutub al-'Ilmiyah, Beirut, Libanon, cetakan pertama dengan tahqiq DR Muhammad Taamir):

وَيُكْرَهُ لِأَهْلِهِ أَيْ الْمَيِّتِ طَعَامٌ أَيْ صُنْعُ طَعَامٍ يَجْمَعُونَ عليه الناس أَخَذَ كَصَاحِبِ الْأَنْوَارِ الْكَرَاهَةَ من تَعْبِيرِ الرَّوْضَةِ وَالْمَجْمُوعِ بِأَنَّ ذلك بِدْعَةٌ غَيْرُ مُسْتَحَبٍّ وَاسْتَدَلَّ له في الْمَجْمُوعِ بِقَوْلِ جَرِيرِ بن عبد اللَّهِ كنا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصُنْعَهُمْ الطَّعَامَ بَعْدَ دَفْنِهِ من النِّيَاحَةِ رَوَاهُ الْإِمَامُ أَحْمَدُ وابن مَاجَهْ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ وَلَيْسَ في رِوَايَةِ ابْنِ مَاجَهْ بَعْدَ دَفْنِهِ وَهَذَا ظَاهِرٌ في التَّحْرِيمِ فَضْلًا عن الْكَرَاهَةِ وَالْبِدْعَةِ الصَّادِقَةِ بِكُلٍّ مِنْهُمَا

"Dan dibenci bagi keluarga mayat untuk membuat makanan yang orang-orang berkumpul memakan makanan tersebut….dan dalam kitab Al-Majmuu' (karya An-Nawawi-pen) berdalil akan makruhnya hal ini dengan perkataan Jariir bin Abdillah : "Kami menganggap berkumpul ke keluarga mayit setelah dikuburkan dan pembuatan makanan setelah dikuburkannya mayat termasuk niyaahah"….Dan ini dzohir/jelas dalamPENGHARAMAN…"

Lafal-lafal lain yang lain selain tegas pengharaman adalah "Bid'ah Mungkarah" (bid'ah yang merupakan kemungkaran). Tentunya hanya sesuatu yang haram saja yang berhak untuk disifati kemungkaran atau kemaksiatan. Adapun jika perkaranya hanya sampai derajat makruh tanzih maka tidaklah diseifati dengan kemungkaran.

Tanggapan saya adalah :

Disitu ada yang dipotong Sang Ustadz Firanda yaitu kalimat وَلَيْسَ في رِوَايَةِ ابْنِ مَاجَهْ بَعْدَ دَفْنِهِ وَهَذَا ظَاهِرٌ في التَّحْرِيمِ “Walaisa fi riwayati Ibni Majah ba’da dafni wahadza dzahirun fi tahrim” atau terjemahnya “Selain yang diriwayatkan oleh Ibni Majah setelah (acara) pemakaman dan (bahwa) ini (menunjukkan) dzahir dalam keharaman”. Tapi oleh Sang Ustadz dikatakan “Dan ini dzohir/jelas dalamPENGHARAMAN…". Ini jelas memperdaya umat Islam yang awam. Maka perhatikan sungguh-sungguh kalimat tersebut.

Selain daripada itu jelas diawal kutipan Kitab dinyatakan وَيُكْرَهُ “Wayukrahu” yang pengertiannya dibenci/dimakruhkan. Perhatikan juga kutipan Kitab Al Umm Imam Syafi’i 1/278 yang kami kutipkan. Jelas disitu bagi tetangga atau saudara jauh yang tidak ikut sedih dianjurkan untuk menyiapkan makanan. Itu menurut qaul Imam Syafi'i. Sungguh pemenggalan dan penerjemahan yang “maaf” licik.

Selanjutnya Ustadz Firanda menyatakan :

KETIGA

Al-Ustadz berani memastikan bahwa WAHABI PEMBOHONG karena wahabi melarang tahlilan. Kenapa dikatakan pembohong?, karena makruh jika dikerjakan tidak berdosa, lantas kenapa mesti dilarang??

Tentunya ini adalah pernyataan yang sangat lucu, karena sesuatu yang makruh memang termasuk perkara yang dilarang, akan tetapi jika maksudnya ada makruh tanzih maka larangannya tidak tegas, adapun jika maksudnya adalah makruh tahrim (pengharaman) maka pelarangannya tegas. 

Karenanya ada dua kaidah yang ma'aruf di kalangan ulama Ushul Fikh yaitu الأَصْلُ فِي النَّهْيِ لِلتَّحْرِيْمِ "Hukum asal dalam larangan adalah untuk pengharaman", hingga ada dalil yang memalingkannya menjadi larangan makruh….dst.

Tanggapan saya :

Ini jelas memaksakan hukum oleh Ustadz Firanda karena menggunakan azas kata “Naha/Nahi” yang disamakan dengan kata “yukrahu” atau “bid’ah makruh” dan lain kata sejenisnya. Hal ini jelas menunjukkan bahwa Sang Ustadz sudah kehabisan akal untuk menyatakan semua itu bid’ah sesat atau “kullu bid’atin dhalalah” yang diyakininya. 

Bahkan entah sadar atau tidak Ustadz Firanda ini menyangkal seorang Imam Mujtahid dalam Fiqh Syafi’i yaitu Imam Abu Zakaria Yahya Bin Syaraf Nawawi Ad Dimasyqi As Syafi’i yang membagi bid’ah menjadi 5 (lima) sesuai hukum pokoknya. Padahal beliau ini yang lebih mengerti Fiqh dalam Mazhab Syafi’I, apalagi beliau sebagai Imam Mujtahid. Sungguh pernyataan yang berlebihan dari pengikut Salafi Wahabi, mengomentari sesuatu yang tidak diyakini. Ini blunder dan memalukan diri sendiri. Maka apakah pantas dia disebut jujur ???

Selanjutnya Ustadz Firanda menyatakan :

KEEMPAT

Menurut al-Ustadz, bahwasanya yang sering kali terjadi dalam ritual tahlilan yang menyediakan makanan adalah dari kontribusi tetangga dan bukan dari keluarga mayit. Al-Ustadz berkata ((Dan hukum makruh ini akan menjadi hilang, apabila makanan yang dihidangkan merupakan hasil dari sumbangan dan kontribusi tetangga seperti yang seringkali terjadi dalam budaya nusantara)). Demikianlah pernyataan sang ustadz.

Saya jadi penasaran dengan pernyataan al-ustadz ini, apakah pernyataan ini dibangun diatas survei dan penilitian???, Ataukah kenyataannya justru malah sebaliknya ??!!!. Keluarga mayat lah yang menanggung beban semuanya…bahkan sampai nekat berhutang…sudah terkena musibah ditambah lagi dengan musibah beban membuat kenduri kematian ??!!!, apalagi kendurinya berulang-ulang..hari ke 3, ke 7, ke 40, ke 100, ke 1000…??!!

Apakah ustadz bisa mendatangkan bukti akan pernyataan ustadz di atas???, tentunya saya tidak ingin mengatakan bahwa al-ustadz adalah pembohong…tidak…!!!, tapi saya menunggu hasil survey ustadz !!!

Tanggapan saya :

Ustadz Firanda ini tidak percaya dengan kebiasaan tetangga selalu datang membantu keluarga yang meninggal. Ya jelas demikian. Karena memang dia tak pernah mengikuti acara Tahlilan/Yasinan/Kenduri itu. Lalu bagaimana bisa dia berkomentar ?

Kalaupun yang melakukan adalah keluarga tapi dengan niat ikhlas untuk sedekah, bukankah ada hadits berikut :

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا، أَيَنْفَعُهَا شَيْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا؟ قَالَ: «نَعَمْ

Wahai Rasulullah, ibuku meninggal dan ketika itu aku tidak hadir. Apakah dia mendapat manfaat jika aku bersedekah harta atas nama beliau?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya.” (HR. Bukhari 2756)

Dan hadits :

أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ فَهَلْ لَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ تَصَدَّقْ عَنْهَا

Bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Sesungguhnya ibuku wafat secara mendadak, aku kira dia punya wasiat untuk sedekah, lalu apakah ada pahala baginya jika aku bersedekah untuknya? Beliau menjawab: ya, sedekahlah untuknya.” (HR. Bukhari No. 2609, 1322, Muslim No. 1004)

Jadi kesimpulannya disini jelas sekali bahwa kelompok Salafi Wahabi ini suka usil mengomentari qaul dan fatwa ulama Syafi’iyah dengan harapan bisa mengambil hati orang yang awam atas tanggapannya. Dan untuk mendukung tanggapannya tersebut, “segala cara” mereka gunakan, termasuk memaksakan pemahamannya, yang pada sisi lain ditolaknya. Masihkah kita percaya kepadanya ???

Semoga kita bisa mengambil pelajaran penting dari tanggapan Ustadz Firanda ini terhadap pernyataan Ustadz Idrus Ramli yang menyampaikan pemahaman dalam Mazhab Syafi’i.

Kebenaran hakiki hanya milik Allah
Hamba Allah yang dhaif dan faqir
Dzikrul Ghafilin bersama Mas Derajad

Untuk jelasnya silahkan dibuka pernyataan Ustadz Firanda ini di situsnya berikut :http://www.firanda.com/index.php/artikel/bantahan/430-tahlilan-makruh-tidak-haram