Selasa, 19 Maret 2013

Mutiara Hikmah Dalam Shalawat Nariyah


Oleh: K.H. Zainul Mu’ien Husni. Lc

Ummat Muslim di berbagai belahan Dunia Islam mengenal banyak sekali teks shalawat. Menurut Sayyed Muhammad Haqqi al-Nazili dalam Khazinat al-Asrar Jalilat al-Adzkar, teks-teks shalawat yang beredar di kalangan Ummat Muslim di dunia mencapai tidak kurang dari 4.000 teks. Bahkan, menurutnya pula, ada yang memperkirakan tidak kurang dari 12.000 teks. Ini sungguh angka yang fantastis.

Di Indonesia ada beberapa teks shalawat yang dikenal sangat luas, yaitu Shalawat Ibrahimiyah, Shalawat Nariayh, Shalawat al-Fatih, Shalawat al-Anwar, Shalawat Kamaliyah dan masih banya lagi lainnya. Di antara semua itu Shalawat Nariyah adalah yang paling popular dan merakyat, khususnya di kalangan Nahdliyyin.

Nama-nama Shalawat Nariyah

Sayyed Al-Naziliy dalam Khazinat al-Asrar Jalilat al-Adzkar menyebut shalawat ini dengan nama Shala-wat al-Tafrijiyah al-Qurtubiyah.

Kata Al-Tafrijiyah menunjuk pada kata tafrij yang berarti melonggarkan. Yang dimaksudkan adalah melonggarkan himpitan kesusahan. Hal ini karena shalawat ini terbukti sangat efektif (mujarab) mengatasi berbagai kesulitan hidup. Sedang kata Al-Qurtubiyah menunjuk pada penyusun shalawat ini, yaitu Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr al-Anshari al-Andalusi al-Qurtubi, pakar ilmu tafsir kenamaan yang di Indonesia populer dengan nama Imam Qurtubi, penulis kitab tafsir monumental dengan nama Al-Jami’ li-Ahkam al -Qur’an.

Tetapi Sayyed Muhammad bin Alawi al-Malikiy dalam Al-Majmu’ah al-Mubarakah menyebutnya Shalawat al-Taziyah. Nama al-Taziyah, menurutnya, nisbat pada Syaikh Abd al-Wahhab al-Taziy. Jika nisbat ini benar adanya, maka sebutan Nariyah itu agaknya merupakan tas-hif (plesetan dalam penulisan) dari Taziyyah, sebab aksara-aksarany­a dalam tulisan Arab memang mirip dan perbedaan hanya dalam beberapa titik saja.

Namun demikian nama Nariyah adalah yang paling popular di antara nama-nama shalawat ini.

Kata Nar dalam bahasa Arab berarti api. Tentang mengapa dinamakan Nariyah, Sayyed Al-Naziliy menjelaskan sebagai beri-kut:

Penduduk negeri Maghrib menyebut shalawat ini Shalawat Nariyah karena kebiasaan mereka apabila ada sesuatu yang mereka inginkan atau ada permasalahan yang sulit mereka tanggulangi mereka lantas berkumpul di suatu tempat dan membacanya bersama-sama sebanyak 4.444 (empat ribu empat ratus empat em-pat puluh empat) kali dan ternyata mereka merasakan permohonan mereka terkabul dengan mudah dan cepat secepat kilatan api.

Karena kemujaraban shalawat ini ka-langan Sufi menjulukinya Miftah al-Kanz al-Muhit Linayli Murad al-‘Abid, artinya Kunci Gudang yang Luas untuk Terkabulnya Kei-nginan Manusia.

Di negeri kita tak jarang orang me-nyebutnya Shalawat Nuriyah. Penamaan ini tentu tidak sepenuhnya keliru. Toch, kata Nur dalam bahasa Arab berarti cahaya. Jadi, ti-daklah salah kiranya untuk dikatakan bahwa Nuriyah adalah nisbat pada Nur.

Sungguh pun demikian Penulis men-duga kuat bahwa penamaan tersebut agaknya lebih merupakan tas-hif dari Nariyah, apalagi sebutan tersebut kerap terdengar dari kalangan awam.

Kandungan Shalawat Nariyah

Seperti umumnya shalawat, kandungan Sha-lawat Nariyah berkisar pada dua hal, per-tama, shalawat dan salam untuk Nabi Mu-hammad saw dan, kedua, tawassul kepada Allah untuk terkabulnya beberapa keinginan dan keselamatan dari hal-hal yang tidak dii-nginkan. Hanya saja, berbeda dengan sha-lawat lain pada umumnya, permohonan da-lam shalawat ini tidak dikemukakan secara eksplisit dalam bentuk doa, melainkan hanya memohon shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad yang dengan beliau:

- semua belenggu menjadi lepas (tan-hallu bihi al-uqad)

- semua kesusahan menjadi sirna (tan-fariju bihi al-kurab)

- semua hajat terpenuhi (tuqdla bihi al-hawaij)

- semua keinginan dan kebaikan dalam pungkasan dapat diraih (tunalu bihi al-raghaib wa husnul khawatim)

- awan dapat diharapkan menurunkan hujan (yustasqa al-ghamamu biwajhihi al-karim)

Bandingkan dengan Shalawat Mun-jiyat, misalnya, yang permohonannya dike-mukakan secara vulgar sebagai berikut:

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ صَلَاةً تُنْجِيْنَا بِهَا مِنْ جَمِيْعِ اْلأهْوَالِ وَالآفَاتِ ، وَتَقْضِيْ لَنَا بِهَا جَمِيْعَ الحَاجَاتِ ، وَتُطَهِّرُناَ بِهَا مِنْ جَمِيْعِ السَّيِّئَاتِ ، وَتَرْفَعُناَ بِهَا عِنْدَكَ أعْلىَ الدَّرَجَاتِ ، وَتُبَلِّغُناَ بِهَا أَقْصَى الغَايَاتِ مِنْ جَمِيْعِ الخَيْرَاتِ فِي الْحَيَاةِ وَبَعْدَ الْمَمَاتِ

Ya Allah, berikanlah kepada Nabi Mu-hammad shalawat yang dengan shalawat itu Engkau selamatkan kami dari mara bahaya dan penyakit, Engkau kabulkan semua hajat kami, Engkau sucikan kami dari semua keburukan, Engkau angkat kami ke derajat yang setinggi-tinggi­nya di sisi-Mu dan Engkau sampaikan kami ke tujuan yang paling jauh dari semua kebajikan dalam hidup dan sesudah kematian.

Penyebutan kelima keistimewaan Nabi itu tanpa menyebutkan secara vulgar hal-hal yang dimohon kepada Allah agaknya merupakan ciri khas Shalawat Nariyah dan justru di situlah sebenarnya terkandung permohonan dengan uslub (style) yang mengandung nilai kesusastraan yang tinggi. Sebab, dengan bershalawat untuk Nabi yang dengan beliau semua belenggu menjadi lepas sebenarnya kita memohon dengan perantaraan beliau agar Allah berkenan melepaskan diri kita dari berbagai belenggu kehidupan. Ketika kita bershalawat untuk Nabi yang dengan beliau semua hajat terpenuhi sebenarnya kita memohon dengan perantaraan beliau agar Allah memenuhi hajat kita… dan begitu seterusnya.

Ini sama halnya dengan berdzikir dengan Asma al-Husna seperti: Ya Rahman, ya Rahim, ya Razzaq… (Wahai Tuhan Yang Maha Rahman, Wahai Tuhan Yang Maha Rahim, wahai Tuhan Sang Pemberi rezeki…) dst. Dengan menyebut nama-nama agung tersebut sebenarnya kita memohon secara tidak langsung dengan perantaraan nama-nama-Nya agar Dia berkenan memberi rahmat, mengasihi dan memberi kita rezeki. Inilah salah satu aspek penting dalam Shalawat Nariyah.

Aspek lain yang tak kalah penting, bahkan lebih penting dari yang disebut sebelumnya, sebagaimana dikatakan oleh Sayyed Al-Naziliy, adalah bahwa tawassul dalam shalawat ini bukan lagi dengan shalawat, melainkan dengan dzat Nabi Mu-hammad itu sendiri. Lihatlah kata ganti na-ma (dhamir) “hi” dalam kata “bihi” dan “biwajhihi” yang berbentuk spesifik laki-laki (mudzakkar) dan yang tidak bisa lain menun-juk kepada Nabi Muhammad saw. Dhamir “hi” ini terulang sampai tujuh kali, sehingga kalau ditambah dengan satu kali penyebutan nama terang Muhammad, maka berarti penyebutan nama tersebut dalam shalawat ini terulang delapan kali. Ini sungguh luar biasa. Bandingkan dengan shalawat-shalaw­at lain yang umumnya menggunakan kata “biha” yang kembali kepada shalawat.

Memang ketika Penulis konfirmasikan soal bihi dan biha ini kepada Hadratus-syaikh­ KH. Ahmad Sufyan Miftahul-Arifin­, Rois Syuriyah PC-NU Situbondo, beliau tersenyum dan menyangkal dengan lembut. “Sama saja, nak,” katanya dalam bahasa Madura yang kental. “Lha wong bershalawat juga perintah Allah kok. Jadi, apakah dhamirnya kembali kepada shalawat atau kepada Nabi Muhammad ya sama saja,” lanjutnya.

Namun demikian tetap saja dhamir hi ini, menurut hemat Penulis, merupakan sesuatu yang sangat spesifik dari Shalawat Nariyah, wallahu a’lam.



Khasiat Shalawat Nariyah

Seorang laki-laki tampak mencibir saat men-dengar seorang kyai di sebuah forum pengajian berbicara tentang khasiat shalawat dan, secara khusus, Shalawat Nariyah. “Membaca shalawat kok yang dicari cuma khasiatnya. Apa itu tidak merendahkan martabat shalawat?” komentarnya sinis.

Tetapi berbicara tentang khasiat shalawat bukanlah bid’ah dalam agama. Toch, Rasulullah dalam banyak haditsnya juga berbicara tentang khasiat shalawat. Simaklah sebagai contoh penuturan Jabir ibn Abdillah bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barang-siapa yang membaca shalawat untukku 100 kali dalam sehari, maka Allah akan merea-lisasikan­ 100 hajatnya, 70 di antaranya di akhirat dan 30 di dunia.”

Jika demikian halnya, maka tidaklah berlebihan jika para ulama melalui pengem-baraan spiritual mereka kemudian menemukan lebih banyak lagi khasiat shalawat dan khasiat jenis-jenis shalawat ter-tentu. Temuan-temuan mereka itu lantas mereka himpun menjadi beberapa kitab yang menguraikan secara khusus khasiat-khasiat­ shalawat, antara lain kitab Sa’adat al-Da-rayn fi al-Shalati ‘ala Sayyid al-Kaunayn.

Berikut ini adalah khasiat Shalawat Nariyah sebagaimana dipaparkan oleh Al-Naziliy dalam Khazinat al-Asrar. Barangsiapa yang membaca shalawat ini secara ajeg (istiqamah) 11 kali setiap hari, maka seakan-akan rezekinya turun dengan deras dari langit dan tumbuh dari bumi (dari penuturan Syaikh Muhammad al-Tunusiy).

Jika dibaca 11 kali setiap usai shalat fardhu, maka rezekinya tidak akan putus-putus dan perjalanan karirnya akan terus menanjak secara konsisten (dari penuturan Imam Al-Daynuri).

Jika dibaca 41 kali setiap usai shalat Subuh, maka semua hajatnya akan terkabul.

Jika dibaca 100 kali setiap hari, maka dia akan memperoleh apa yang dii-nginkannya lebih dari yang diangan-kannya.

Jika dibaca dengan bilangan sebanyak para utusan, yaitu 313 kali, maka tabir rahasia kehidupan akan tersingkap baginya dan ia dapat melihat apa saja yang diinginkannya.

Jika dibca 1000 kali setiap hari maka dia akan memperoleh anugerah luar biasa yang tidak pernah dibayangkan atau dirasakannya selama ini.

Berkata Imam al-Qurtubi: Barangsiapa yang mempunyai hajat yang sangat penting atau terlilit satu persoalan yang sangat pelik, lalu membaca sha-lawat ini 4.444 kali dengan maksud bertawassul dengannya kepada Allah swt, maka apa yang dikehendakinya akan dikabulkan oleh Allah. Pernya-taan senada dikemukakan pula oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, pakar Ilmu Hadits penyusun kitab Fath al-Bari syarh Shahih al-Bukhari yang terke-nal itu.

Itulah catatan para ulama tentang khasiat shalawat ini yang mereka himpun dari pengalaman (tajribah) spiritual mereka. Tentu idealnya mengamalkan shalawat itu tanpa maksud apa-apa selain ibadah dan pendekatan diri kepada Allah serta mengharap syafaat Nabi Muhammad saw. Tetapi juga tidak bisa disalahkan jika sese-orang mengamalkannya untuk memperoleh khasiat tertentu. Toch, Nabi sendiri berbicara tentang khasiat. Kecuali itu Islam sendiri sangat apresiatif terhadap ragam tingkat spiritualitas dan perbedaan orientasi umat-nya. Allah berfirman dalam al-Qur’an:

ثُمَّ أَوْرَثْناَ اْلكِتَابَ الَّذِيْنَ اصْطَفَيْناَ مِنْ عِباَدِناَ فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللهِ .

Kemudian Kami wariskan Al-Kitab kepada orang-orang yang telah Kami pilih di antara hamba-hamba Kami. Maka di antara mereka ada yang zalim terhadap dirinya sendiri, ada yang sedang-sedang saja, dan ada yang berlomba-lomba dalam kebaikan dengan izin Allah.

Dikutip dari Kongkow Bareng Gus Dur

Kebenaran hakiki hanya milik Allah
Hamba Allah yang dhaif dan faqir
Dzikrul Ghafilin bersama Mas Derajad